A.
Pengerian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan adalah proses
bantuan terhadap individu agar ia dapat memahami dirinya dan dunianya sehingga
dapat lebih baik lagi. Materi yang dibahas dalam bimbingan lebih bersifat umum
dan dilakukan secara terus menerus, baik sebelum maupun sesudah dilakukan
konseling. Konseling adalah suatu proses dimana konselor membantu
konseli agar dapat memahami dan menafsirkan fakta-fakta yang berhubungan dengan
pemilihan, perencanaan, dan penyesuaian diri sesuai dengan kebutuhan konseli.
Materi yang dibahas dalam konseling bersifat khusus, rahasia, dan pribadi.
Bimbingan dan Konseling
adalah proses bantuan oleh konselor terhadap individu agar dapat menyelesaikan
masalahnya, meningkatkan kreativitasnya dan dapat memahami dirinya dan
lingkungannya sehingga dapat menjadi individu yang lebih baik dalam menentukan
pilihan, perencanaan, dan penyesuaian diri.
B.
Macam-macam Konseling
1.
Konseling individual
Ciri-ciri
konseling ini adalah materi yang dibahas bersifat rahasia, pribadi, tertutup.
Proses konseling individual dilakukan antar individu, yakni antara konselor dan
konseli saja. Proses konseling individual adalah peristiwa yang tengah
berlangsung dan memberi makna bagi peserta konseling (konselor dan konseli).
2.
Konseling kelompok
Ciri-ciri
konseling kelompok adalah materinya bisa bersifat umum, bebas atau rahasia,
terbuka atau tertutup. Konseling ini dilakukan secara berkelompok dengan
peserta yang terbatas, seperti lima sampai delapan orang.
3.
Konseling klasikal
Ciri-ciri
konseling klasikal sama dengan konseling kelomok. Proses konseling ini hampir
sama dengan konseling kelompok, hanya saja konseling ini dikomando oleh satu
konselor dan dilakukan di dalam kelas atau di dalam ruangan, misalnya proses
konseling yang dilakukan seorang guru dengan murid satu kelas dan berada di
dalam ruang kelas.
C.
Hubungan Konseling
1.
Pengertian, Tujuan, dan Fungsi Hubungan Konseling
Hubungan konseling adalah hubungan atau pertolongan yang membantu,
berupa aktivitas yang muncul ketika seorang konselor dan konseli melakukan
pertemuan (aktivitas) untuk konseling, dengan tujuan yang dibantu atau
dibimbing dapat menjadi individu yang tumbuh, berkembang, mandiri, dan
sejahtera. Contohnya konselor dan konseli, guru pembimbing dan muridnya.
Hubungan konseling bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan,
perkembangan, kematangan, memperbaiki fungsi, dan memperbaiki kehidupan.
Hubungan konseling ini bersifat menghargai, terbuka, dan fungsional untuk
menggali aspek-aspek terselubung, baik itu ide, sumber informasi dan
pengalaman, emosional, maupun potensi secara umum.[1]
Jadi, dalam hubungan konseling konselor tidak boleh mengeluh atas kelemahan,
permasalahan, dan kesulitan konseli, tapi harus memulai dengan hal-hal yang
membahagiakan konseli.[2]
2.
Karakteristik Hubungan Konseling
Dalam hubungan konseling antara konselor dan konseli terdapat
katakteristiknya, yaitu:
a.
Hubungan
konseling siatnya bermakna sehingga adanya harapan dan tujuan, baik itu bagi
konselor maupun konseli.
b.
Bersifat
afek, yaitu hubungan yang didorong oleh emosional sehingga hubungan yang
dijalin dapat mengurangi tingat kecemasan dan ketakutan yang dirasakan konseli.
c.
Struktur,
karena keterlibatan konselor dan konseli, perbedaan identitas konselor dan
konseli, tugas konselor dan konseli, dan pola-pola responden stimulasi dalam
hubungan konseling.
d.
Pertumbuhan
dan perkembangan, yang dimaksudkan disini adalah pertumbuhan dan perkembangan
cara berpikir konseli dalam mengentaskan masalahnya atau dalam meningkatkan
kreativitasnya.
e.
Dorongan,
yaitu perilaku atau tindakan yang dilakukan konselor agar konseli lebih mandiri
dalam menjalani kehidupannya.
f.
Kejujuran,
yaitu sifat yang harus timbul dalam diri konselor dalam memperbaiki diri
konseli dan juga harus timbul dalam diri konseli dalam megungkapkan semua yang
dirasakannya selama hal itu berhubungan dengan permasalahan.
g.
Kerjasama,
yaitu hubungan konseling yang dilakukan secara bersama-sama sehingga dapat
tercapainya tujuan konseling.
h.
Kebutuhan,
yaitu konseli dengan sendirinya merasa membutuhkan konselor, yakni tidak ada
unsur paksaan sama sekli sehingga konseli bisa lebih terbuka terhadap konselor.
3.
Karakteristik Konselor
a.
Beriman
dan bertakwa
b.
Menyenangi
manusia
c.
Sebagai
komunikator yang terampil dan pendengar yang baik
d.
Memiliki
ilmu tentang manusia, sosial, dan budaya
e.
Bersifat
fleksibel, tenang, dan sabar
f.
Menguasai
teknik keterampilan
g.
Memahami
etika profesi
h.
Respek,
jujur, asli, menghargai, tidak menilai
i.
Empati,
memahami, menerima, hangat, bersahabat
j.
Fasilitator
k.
Emosi
stabil, pikiran jernih, cepat, dan mampu
l.
Objektif,
rasional, logis, konkret
m.
Konsisten
dan bertanggung jawab
D.
Komunikasi Interpersonal
1.
Pengertian Komunikasi Interpersonal
Komunikasi
interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan antar pribadi ( individu dengan
individu lain) untuk saling bertukar gagasan, ide, ataupun pemikiran.
2.
Fungsi Komunikasi Interpersonal
a.
Mengenal
diri sendiri dan orang lain
b.
Komunikasi
antar pribadi memungkinkan kita untuk mengetahui lingkungan kita secara baik
c.
Menciptakan
dan memelihara hubungan
d.
Mengubah
sikap dan perilaku
3.
Prinsip Komunikasi Interpersonal
a.
Komunikasi
interpersonal adalah suatu proses transaksional
b.
Komunikasi
interpersonal memiliki tujuan
c.
Komunikasi
interpersonal adalah ambigu
d.
Hubungan
interpersonal dapat berbentuk simetris atau komplementer
E.
Keterampilan Komunikasi Konseling
Keterampilan komunikasi konseling adalah kemampuan memberikan
informasi guna membantu konseli dalam memecahkan masalahnya atau
mengembangkan/meningkatkan kemampuannya. Ada beberapa keterampilan komunikasi
konseling, yaitu:
1.
Penghampiran/attending
2.
Empati
3.
Merangkum
4.
Bertanya
5.
Kejujuran
6.
Membuka
percakapan
7.
Asertif,
yaitu untuk menyatakan pikiran dan perasaan dengan jujur, sopan, dan menghargai
hak asasi orang lain. Keterampilan ini dikembangkan melalui ungkapan verbal dan
nonverbal
8.
Konfrontasi,
yaitu cara konselor membetulkan titik perbedaan atau pertentangan dalam situasi
tertentu.
F.
Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Komunikasi
verbal adalah komunikasi secara lisan dan
tulisan yang membedakan manusia dengan makhluk lain. Komunikasi nonverbal
adalah komunikasi yang menggunakan bahasa tubuh yang meliputi gerak tubuh
(isyarat tangan, gerakan kepala, dll), sikap tubuh, kontak mata, ekspresi muka,
kedekatan jarak, dan sentuhan. Fungsi komunikasi nonverbal adalah:
1. Mengulangi/repetisi perilaku verbal
2. Memperteguh, menekankan, atau melengkapi perilaku verbal
3. Menggantikan atau subtitusi perilaku verbal
4. Meregulasi perilaku verbal
5. Membantah atau bertentangan (kontradiksi) dengan perilaku verbal
G.
Makna Kreativitas
1.
Pengertian
Kreativitas
adalah proses ang ditentukan oleh konselor dalam melakukan wawancara konseling.
Karena konselor yang efektif akan mempunyai kreativitas dan menghasilkan
wawancara konseling yang baik dan dalam merespon konseli. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan atau proses
timbulnya ide baru. Sementara itu, menurut Bapak Dr. Sofyan S. Willis dalam
bukunya mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan untuk memunculkan
sesuatu yangbaru dalam kondisi yang lama
(mapan), bersifat sontan, dan kebiasaan untuk mencipta.[3]
2.
Ciri-ciri kreativitas
Ciri-ciri
afektif:
-
Rasa
ingin tahu
-
Bersifat
imajinatif/fantasi
-
Merasa
tertantang oleh kemajemukan
-
Berani
mengambil resiko (tidak takut membuat kesalahan)
-
Memainkan
peran yang aktif
-
Sifat
menghargai
Ciri-ciri
Kognitif:
- Kemampuan berpikir lancar (fluency)
- Kemampuan berpikir luwes atau fleksibel (flexibility)
- Kemampuan berpikir orisinal (originality)
- Kemampuan menilai (evaluation)
-
Kemampuan memperinci (elaboration)
3.
Tahapan Kreativitas
-
Persiapan
-
Inkubasi
(penyimpan informasi yang ada
-
Pencerahan
-
Pelaksanaan/pembuktian
4.
Contoh kreativitas dalam konseling
-
Dalam
berbicara menggunakan majas metafora (bahasa kiasan)
H.
Posisi Kreativitas dalam Proses Konseling
Dalam
proses konseling, berpikir kreatif itu sangat penting, baik bagi konselor
maupun bagi konseli, tapi posisi sebagai konselor hal ini lebih dituntut
dibandingkan posisisebagai konseli. Konselor yang berpikir kreatif akan menjadi
konselor yang efektif, yang tentunya itu tidak muncul dengan begitu saja.
Kekreatifan yang memunculkan keefektifan ini didasari oleh
pengalaman-pengalaman dan pembelajaran yang tidak sebentar.
Dalam
proses konseling yang pertama dilakukan adalah konselor harus mendengarkan dan
memperhatikan apa saja yang diungkapkan oleh konseli dengan keadaan sadar secara
cermat dan tepat. Kemudian, dari informasi yang didapat dari konseli tersebut
konselor dituntut untuk mengemukakan pengertian sederhana dari permasalahan dan
memberikan solusi sederhana, membantu memutuskan tindakan yang tepat dilakukan
bagi konseli, dan memunculkan alternatif interpretasi dari hasil yang mungkin
terhadap perilaku yang diharapkan.
Tugas
seorang konselor setelah itu adalah mengembangkan pemahaman baru konseli dengan
berbagai skill, kualitas pribadi konselor, dimensi-dimensi wawasan, dan
teori-teori konseling. Lalu membantu konseli menguji hal-hal yang disadari atau
tak disadari dan membantu konseli untuk menampilkan respon-respon secara
kreatif untuk kehidupannya, tapi ide dan respon konseli itu tergantung pada
konselrnya. Semakin kreatif konselor, maka semakin baiklah ide-ide dan
respon-respon konseli dalam mengatasi permasalahannya.[4]
Tahapan
dalam proses konseling:
1.
Rapport,
yaitu membangun hubungan saling percaya.
2.
Contrack
3.
Focus
4.
Funnel
5.
Penutupan
I.
Mengambil Keputusan
Biasanya konseli akan datang pada konselor karena mereka memiliki
konflik yang menyelesaikannya mengalami hambatan dalam perilaku, pemikiran, dan
perasaan. Bisa juga konseli datang untuk berkonsultasi menemukan cara terbaik
dalam mengambangkan dirinya agar potensinya teraktuaktualisasi dan tidak
mubazir. Permasalah konseli yang tidak terselesaikan ini akan menjadi tugas baru
bagi konselor, yaitu konselor mestinya berupaya untuk membangkitkan alternatif,
membantu konseli mengubah pola-pola lama yang tidak baik dengan memudahkan
konseli dalam mengambil keputusan, dan menemukan cara yang mengarah pada
pemecahan masalah konseli.
Dalam proses konseling terdapat tiga tahap, yaitu:
1.
Tahap
awal, yaitu tahap mendefinisikan masalah. Pada tahap ini terdapat tiga fase,
yaitu mendefinisikan masalah konseli atas bantuan konselor, mempertimbangkan
alternatif definisi masalah, memilih definisi masalah yang terbaik sebagai
hasil diskusi.
2.
Tahap
tengah, atau tahap yaitu tahap kerja. Proses pada tahap ini adalah menentukan
kerangka berpikir teoritis yang melandasi konselor dalam memahami konseli,
melakukan pendekatan eklektik dengan kualitas pribadi dan teknik yang dimiliki
konselor, memeriksa masalah dan mengembangkan cara-cara baru.
3.
Tahap
akhir, yaitu tahap penentuan keputusan untuk bertindak. Tahap ini memiliki
proses yaitu, konselor dan konseli menyusun solusi untuk pemecahan masalah,
menguji solusi, menyusun rencana, dan mengakhiri sesi.
J.
Efektivitas Konselor dalam Wawancara Konseling
Proses
konseling yang intensional dan efektif akan membantu konseli berkembang secara
optimal. Sebaliknya, jika proses konseling tidak efektif dan kurang mendalam,
maka sudah tentu tujuan konseling tidak akan tercapai dan bahkan dapat merusak
konseli. Faktor yang bisa merusak konseli menurut Hadley dan Stupp (1976)
adalah:
1.
Konselor
terlalu dalam menggali konseli
2.
Konselor
terlalu hati-hati dalam menggali konseli
3.
Aplikasi
teknik
4.
Hubungan
konseling
5.
Masalah
komunikasi
6.
Fokus
7.
Kelemahan
konselor
Konselor yang efektif mampu melihat keadaan konseli dan memilih
teknik yang sesuai. Oleh karena itu, konselor perlu berkepribadian yang empati.
Karena empati merupakan kunci penunjang dalam hubungan konseling yang
berkualitas.
Menurut Carl Roger (1961), empati adalah kemampuan untuk merasakan
apa yang dirasakan oleh konseli secara sadar. Dalam empati disini konselor
harus bersikap apa adanya dan secara sadar, yaitu tidak dalam keadaan pengaruh
sihir/hipnotis, mabuk, dan lain sebagainya. Adapun empati memiliki subkomponen,
yaitu penghargaan positif, rasa hormat, kehangatan, kekonkritan, kesiapan dan
kesegaran, konfrontasi, dan keaslian.
[1] Sofyan S.
Willis, Konseling Individual, Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta,
2013), hlm. 36.
[2] Sofyan S.
Willis, Konseling Individual, Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta,
2013), hlm. 39.
[3] Sofyan S.
Willis, Konseling Individual, Teori dan Praktek (Bandung: Alfabeta,
2013), hlm. 135.